Kita sering melihat banyak orang menilai antar sesama
“ hei, kamu benar, kamu salah”
“kita harus melakukan ini, kita tidak boleh melakukan itu”, dan masih banyak lagi contoh kasus seperti itu.
Tapi, pertanyaannya apakah yang mereka bilang benar, itu benar – benar merupakan kebenaran? Apakah yang mereka bilang itu salah benar – benar merupakan kesalahan?
Apakah dasar mereka melakukan itu atau mengatakan itu? Hukum atau undang – undang? Apakah hukum atau undang – undang itu menunjukkan kebenaran atau kesalahan yang absolut? ....
Siapakah yang pantas menjawab itu? Hakim? Presiden? Polisi? Atau siapa? Well.. ketika kita melihat seseorang yang dikatakan “melanggar” hukum, seseorang itu tentunya akan berurusan dengan polisi yang dibilang sebagai salah satu aparat penegak hukum, ya polisi menjalankan tugas dan kewajibannya, hal biasa itu terjadi. Kemudian kita melihat seseorang yang melanggar itu mempunyai hak untuk didampangi seorang pengacara, kuasa hukum dalam menghadapi kasusnya. Dan mungkin seseorang itu berharap pengacaranya dapat berbuat sesuatu yang mungkin dapat meringakan kasus dan hukumannya ( well, saya menulis ini dari sudut pandang orang awam, bukan ahli hukum ). Misalkan dalam kasus A, seseorang dijatuhi hukuman selama 4 tahun atau berapa lah, kemudian kuasa hukumnya melakukan peninjauan ulang yang akhirnya membuat hukuman berkurang atau mungkin justru bebas. Kemudian seseorang yang hanya mencuri sebuah semangka, mencuri sepeda motor, korupsi, semuanya bisa dikatakan sama – sama mencuri, mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Itu salah? Hmmmm, ketiganya itu mempunyai bobot yang berbeda? Dilihat dari sesuatu yang diambil, mungkin iya. Tapi ketiganya mungkin mempunyai bobot hukuman yang berbeda, kita sudah banyak melihat contoh hal itu dan disini juga tidak akan membahas hal itu. Dari hal itu, apakah ada kesalahan atau kebenaran yang absolut dan mutlak dari sudut pandang hukum, kata mutlak bisa diartikan 100%, tidak bisa dirubah. Namun dari banyak kasus yang terjadi dalam dunia hukum, si A yang melakukan ini, dilihat dari undang – undang dia mendapat hukuman sekian, namun setelah proses ini itu, dia hanya mendapat hukuman sekian yang bisa kurang atau lebih. Bisa dirubah, diganti, tidak ada yang absolut dan mutlak bukan.
Kita melihat lagi, seseorang bilang “ mereka itu payah, masa melakukan itu kan sudah kuno apa yang mereka lakukan “. “ wah, walaupun kuno tetap asyik ya”.
Lihat mereka, “ masa jengkol, pete dimakan, tidak enak bau lagi“. “ enak ya jengkol, pete, sedap “
“ aku tidak suka makanan pedas, perutku pasti sakit “, “ ah payah, masa makanan pedas tidak suka, tidak berani makan “
“ film itu jelek “, “ ah, film itu bagus, aku suka “
Kata – kata seperti itu banyak kita dengar dalam kegiatan kita sehari – hari, termasuk menjudge satu sama lain, yang satu bilang tidak enak namun ada yang bilang enak, ada yang bilang jelek ada yang bilang bagus.
Lalu, pantaskah kita menilai yang bilang jelek itu benar atau salah, pantaskah kita menilai yang bilang bagus itu benar atau salah. Apakah bisa menilai sesuatu benar dan salah berdasarkan subyektifitas kita, kita bilang bagus, enak kemudian ada yang bilang jelek, tidak enak. Bagi yang bilang enak, hal itu memang enak buat mereka, namun yang bilang tidak enak memang tidak enak buat mereka. Jadi tidak ada yang salah bukan.
Apakah bisa menjudge sesuatu berdasarkan dari penilaian kita sendiri, tapi kita tentu boleh berpendapat, semua mempunyai hak dan berpendapat. Namun yang ada hak tersebut mempunyai waktu dan tempat, dalam artian kita harus dapat menggunakan hak berbicara dan berpendapat itu dengan bijak. Karena hak yang kita punya tersebut bisa mengganggu hak orang lain, disini toleransi lah yang berperan, keseimbangan. Tidak menggangu, mengurangi hak orang lain. Tidak ada kebenaran atau kesalahan yang absolut lagi..
Dalam hal agama, ya tidak perlu dibahas cukup mendalam.. Dengan berpedoman kitab suci, alkitab, mereka melakukan suatu. Ada yang menafsirkan apa yang ada di kitab suci, sebagai dasar atas apa yang mereka lakukan dan akan dilakukan, tapi pertanyaannnya apakah yang mereka tafsirkan itu benar atau salah? Pemuka agama ini bilang salah, pemuka agama ini bilang benar? Lalu?? .... apakah layak menafsirkan kitab suci, agama atas dasar penilaian pribadi, meskipun pribadi itu adalah pemuka agama?? ..... i can’t answer that and i don’t want to answer.
Lalu apakah benar dan salah itu dalam area abu – abu???
True and false is in grey area???
Apakah kita bisa mengambil itu berdasarkan subyektifitas kita sebagai manusia, kemudian berdasarkan obyektifitas? Dengan dasar hukum? Agama?
There is only one can judge berdasarkan subyektifitas ataupun obyektifitas dengan benar, tepat, it’s like there is no jurisdiction for that one, so who’s the one? Well jawabannya, the one is GOD!!!
Just only GOD knows the truth and false, know what is the right and wrong, for clear and real!
Then what we should gonna do as human to figure it out?
Apa yang harus kita lakukan sebagai manusia untuk mengetahui hal itu, menemukan mengetahui kebenaran dan kesalahan yang sejati ???
No comments:
Post a Comment